Try to Know Us.
“TULALIT
TULALIIIITTT…. TULALIT TULALIIIITTT…. PIP”
Seseorang mengubah
alarmku agar berbunyi jam 4 pagi. Sial.
Dan itulah kisah pagiku. Ingin
rasanya menutup mata kembali, tapi udara panas yang menyengat akibat panjangnya
musim kemarau membuatku berkeringat dan tidak nyaman. Akhirnya kuputuskan untuk
mandi, lalu mengerjakan tugas akhir seorang mahasiswa ganteng, yaitu skripsi. Kubuka
laptopku yang cantik sambil menyeduh secangkir kopi hitam untuk booster.
“Oh
men, hati ini sudah berniat mengerjakan, namun fisik ini berkata tidak,” kataku
pada diriku sendiri. Diriku ini ingin segera lulus saja dari perkuliahan jahanam
ini. Buatku, kuliah, sekolah, dan sebagainya adalah tempat yang sangat tidak
menyenangkan. Kenapa? Pikirkan saja, kalau bekerja nanti, kita mengerjakan
sesuatu lalu setelah itu mendapat bayaran alias gaji. Lha kuliah? Kita yang kerja, kita juga yang bayar. Enaknya dimana
coba? Kata orang nikmati saja kuliah,
bersama teman – teman, asyik dan seru – seruan, blah blah blah… Aku bukan orang
yang tertarik dengan hal semacam itu. Kalau disuruh pergi pesta atau pergi
jalan – jalan bersama rombongan teman kampus, aku memilih untuk tidak. Bukannya
tidak suka pergi berpetualang atau apa, tapi aku merasa kurang nyaman berada
disekitar orang – orang yang kurang aku kenal. Jadi aku tidak pernah merasa
kehilangan saat lulus dari sekolah dulu.
Hei,
hei, jangan judge aku dulu. Bukan berarti aku tidak menghargai sebuah hubungan
pertemanan. Seperti yang aku sampaikan tadi, aku tidak suka keramaian. Sama
halnya dengan pertemanan. Prinsipku adalah, semakin banyak orang yang tau
rahasiamu, semakin banyak masalahmu. Ya gitu udah.
Keep your circle small, and your
beer cold. Wedeuh, kece banget mahasiswa ganteng ini.
“Hoi.“Terdengar
suara dari luar pintu kamarku yang terbuka.
Keindahan
pagi hari ini tak lengkap tanpa sapaan singkat dari si muka datar, teman kos
dan sahabat terbaikku, Tama. “Ger, lagi apa koe?
Udah selesai desain skripsine? Biar
bisa tak kerjain dikit – dikit coding e.”
Jadi kami sedang membuat topik skripsi bersama karena diperbolehkan kampus,
asal beda progdi. Beruntung Tama berasal dari Prodgi Teknologi Informasi dan
aku dari Desain Komunikasi Visual. Lengkap sudah formasi untuk membuat aplikasi
game kecil – kecilan. Tidak usah yang besar – besar, yang penting menarik dan
skripsi cepat kelar. Kami orangnya tidak mau muluk – muluk.
“Iyo,
ini ya baru tak garap. Cuma referensine
masih kurang kayake.” Kami sudah
memutuskan untuk membuat game horror. Namun sebagai game designer dan pembuat artwork
game, aku merasa sangat sulit menggambarkan kengerian suatu tempat tanpa
referensi yang cukup. Misal saja, setting
tempat kami adalah rumah tua bekas pembunuhan yang sudah lama ditinggalkan.
Misal lho ya. Terus aku tambahkan cipratan darah merah di backgroundnya. Aneh kan, sudah lama ditinggal, tapi kok darahnya
masih segar? Lalu aku ganti jadi hitam, malah jadi cipratan oli. Diganti
coklat, kok kayak lumpur?? Itu baru kegalauan background. Belum lagi desain karakter, desain cerita, desain Graphic User Interface, dll, dsb. Sesulit
itulah. Dan orang – orang diluar sana hanya cas cis cus aja berkata, “Ah, DKV
kan gampang, kerjanya cuma nggambar – nggambar aja!” Eat my ass lah.
Tama
dan aku pun berpikir bersama didalam kamarku. Tama tampak berpikir keras sambil
menyeruput secangkir kopi. “ Tam, itu kopiku. Bikin dewe sana lah.” Tama berhenti menyeruput kopi dan memandangku penuh
makna. Aku terdiam, dia terdiam, seolah – olah jam di dinding berhenti
berputar. Kemudian, Tama meletakan cangkir kopiku sambil berkata, “Oh iyo, aku
lupa, Ger. Sori – sori.” Somplak. “Ya wis Ger, gimana kalo abis ini kita cari
makan pagi dulu sambil keliling cari – cari referensi, tak traktir wes.” Aku
langsung mengiyakan ajakan Tama. Teman macam apa yang menolak ditraktir
temannya? Ehem, jujur saja saat ini ekonomiku sedang terpojok oleh krisis
ekonomi, jadi ya traktiran adalah sebuah surga dunia. “Yo kamu mandio dulu,
Tam.”
Segera
setelah Tama selesai mandi, kami beranjak masuk kedalam mobilnya Tama dan pergi
meninggalkan kontrakan kami untuk mencari kitab suci, maksudku makan. Tama pun
memilih sebuah restoran makanan Cina kesukaan kami yaitu restoran Ta Man. Bubur
disini enak lho. Belum lagi cumi 3 rasanya, dahsyat. Tapi kalau aku sendirian,
aku tidak akan makan di restoran ini. Makan berdua saja bisa habis sampai 150
ribu rupiah. Buat Tama itu sudah biasa, lah buat aku? Jatah makan seminggu.
Setelah
selesai memesan makanan, sambil menunggu makanan tiba, Tama mengeluarkan Smartphonenya sambil menunjukan sebuah
artikel padaku. “Ini lho Ger, rumah yang ada di kota Mandiratu ini kayaknya
bisa kita jadiin referensi art game kita. Aku lihat serem banget, bikin yang
liat aja deg – degan dan nggak nyaman” Saat kulihat – lihat sendiri, memang
benar kata – katanya Tama. Rumah yang kulihat di artikel itu berasa sangat
lembab, suram dan juga membuat was – was. Padahal aku dan Tama jelas bukan
orang yang punya indra keenam, sama sekali tidak. Lantai kayunya yang sudah
pecah – pecah dan berlubang, entah apa yang ada dibawahnya. Tembok berlumut
dengan noda yang entah apakah itu. Air bocor dari genteng? Lumpur? Atau… Darah?
“Iyo
yah, serem nih. Tapi apa gak apa – apa nih, kalo kita kesana terus masuk dan
lihat – lihat gitu? Bukan masalah takut hantu atau apa lho ya. Tapi apa gak
bermasalah, misal dimarahin yang punya, atau ditutup pemerintah gitu?” Sambil
membaca lagi Tama menjawab, “Ah, enggak kok. Orang yang nulis artikel ini aja
masuk sendiri , disini ditulisan artikelnya bener – bener rumah yang
ditinggalin lama. Gak keurus. Pie,
mau coba?” Pikirku tidak ada salahnya dicoba, lagipula sangat memenuhi
persyaratan. Rumah tua yang angker dan lama ditinggalkan. Absolutely perfect!
Akhirnya
diputuskan sudah, Tama pergi kesana dengan seorang anak. Anak yang tampan dan
juga pemberani. Gery namanya. Ha ha ha… Ya, saya ganteng. Tidak peduli itu
fakta atau opini, tapi kepercayaanku seperti itu.
“Ger,
kita perginya besok lusa aja gimana? Kan pas weekend. Sekalian kan aku ada
kelas ngulang besok.” Halah.. Tama sih, dapet nilai B aja ngulang mata kuliah.
“Ya udah besok aku nganggur, aku kerjain buat karakter gamenya dulu aja, biar nanti cepet kelarnya. Udah males kelamaan
kuliah nih aku hahaha…” Tama menyeruput teh sambil berkata, “Koe sih apa yang ndak males?” Kamipun
tertawa bersama selama 5 detik sebelum aku berkata, “Tam, itu gelas teh ku.”
Dia terdiam. Akupun terdiam. Keheningan yang berjalan beberapa saat itu
terpecah saat makanan yang kami pesan datang. “Sori salah ambil gelas Ger.”
Selesai
menyantap hidangan yang sangat lezat, kamipun pulang menuju kontrakan untuk
meneruskan skripsi. Saat didepan mobil, Tama tiba – tiba terdiam, cukup lama.
Tatapan matanya kosong seperti bak mandi yang lupa diisi airnya. Aku yang
semula terhening karena bingung akhirnya bertanya, “Napa Tam? Oy?” Tiba – tiba
dia langsung lari terbirit – birit menuju kedalam restoran meninggalkanku
sendiri termenung di tempat parkiran.
Sudah
kuduga, kunci mobilnya ketinggalan. Biasa banget.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar