Try to Know This Place
Lusa
pun datang seperti sekejap mata. Mengapa? Karena akhirnya aku tidak mengerjakan
art game nya, dan Tama kelasnya
libur. Kami bermain game online sampai pagi. Seolah – olah waktu 24 jam sehari
itu selalu kurang. Tapi ya sudahlah, daripada menyesalinya lebih baik aku
mempersiapkan bawaan yang akan kubawa perjalanan keluar kota. Snack, air minum,
laptop, kamera untuk dokumentasi, baju ganti untuk jaga – jaga, dan sabun. Iya,
sabun. Jangan salah paham, hanya saja aku ini sering mendadak sakit perut
dimanapun kapanpun. Kalau kata Tama kayak ayam. Jadi sabun itu ya buat cebok, bukan yang “lain”.
“Dah
siap to Ger? Yuk berangkat.” Kata Tama sambil melewati kamarku. Akupun bergegas
mematikan segala benda yang berkaitan dengan listrik, mengunci pintu dan
meluncur kedalam mobil. Literally
meluncur, sampai – sampai Tama selalu marah – marah saat aku melakukannya.
Maklum, hiperaktif. “Jadi langsung ke TKP nih Ger? Ndak nunggu malem?” Memang
bocah satu ini koplak pertanyaannya. “Ya kan aku mau cari foto Tam, bukan cari
demit.”
Dalam
perjalanan sambil mencari lokasinya, aku membaca – baca kembali blog dari orang
yang menulis artikel tentang rumah angker yang akan kami datangi. Namanya
Kurniawan Santo. Dia sangat sering berpetualang mencari – cari tempat yang
unik. Tempat yang indah, tempat yang sangat terpencil, tempat yang berbahaya
hingga tempat angker. Artikelnya cukup menarik dan ditulis dengan bahasa yang
meyenangkan untuk dibaca. Tak heran banyak pengikut blognya. Artikel terakhir
yang ia tulis adalah artikel rumah angker itu, sejak satu minggu yang lalu.
Hmm.. aku tidak sabar menunggu update selanjutnya dari orang ini.
“Udah
sampe nih Ger, bangun.” Tama membangunkan ku dari tidur lelapku. Leherku sakit
karena salah posisi. “Ini dah berapa jam sih kita perjalanan Tam?”, “Dah 3 jam
bruh. Capek aku.” Aku melihat rumah angker yang diceritakan di blog. Tidak seperti
yang kukira, rumah ini bukan rumah terpencil didalam hutan atau rumah yang
berada di desa sepi yang ditinggalkan. Rasanya keadaan di sekitar rumah ini
normal saja. Rumah ini pun aku pikir termasuk mungkin besar dan bagus bila
dirawat dan ditinggali. Halaman rumahnya sangat besar, penuh dengan rumput yang
panjang dan ilalang dimana – mana. Tanpa nomor rumah, tanpa tulisan apapun,
misal dijual atau dikontrakan. Rasanya aku tidak percaya bila rumah ini tidak
ada yang punya.
Kamipun
masuk kedalam halaman rumah itu, angin dingin menghembus membuat bulu kuduk
berdiri. Santai dulu, ini memang musim hujan. Wajar kalau ada angin dingin
seperti ini. Aku mulai mengambil foto – foto dari halaman rumah angker ini. Hasil
– hasil fotonya sangat bagus, entah kenapa. Padahal aku sendiri bukan ahli
dalam bidang fotografi. “Tam, liat nih, fotonya bagus – bagus lho hasilnya..
Tam.. Lho, Tam? Woy??” Tama menghilang entah kemana. Apa mungkin dia sudah
masuk ke dalam rumah? Ah, pintunya masih tertutup. Dimana dia? “Hai.” Sapa
seorang dari belakang. Aku melonjak kaget. Ternyata Tama dengan muka datarnya
datang membawa kunci mobil. “Kunci mobilku ketinggalan hehe..” “Kampret lah
Tam, ngaget – ngagetin.”
Menuju
ke teras rumah, kami melihat sekitar sambil melihat – lihat adakah yang menarik
untuk difoto dan dijadikan subjek atau objek game kami. “Oy, sini deh Ger.
Liaten. Banyak jejak kaki dideket pintu masuk nih.” Aku menyimpulkan berarti
banyak orang yang tertarik mengunjungi tempat ini. Mungkin pemerintah
seharusnya mengaktifkan tempat ini untuk tujuan pariwisata, who knows? Terlihat sangat banyak jejak
kaki menuju kedalam rumah, beberapa dari jejak kaki terlihat masih baru.
Mungkin salah satunya adalah si Kurniawan Santo.
Benar
dugaanku. Dari luar bagus, dari dalam juga bagus. Terlihat interior yang
tertata sangat rapi dan enak dilihat. Perabotan pun sangat lengkap. Meja,
kursi, lemari, dsb. Namun ya namanya saja rumah yang ditinggalkan, sangat
berdebu dan kotor dimana – mana. “Sayang banget nggak sih, Tam? Rumah segede
ini dianggurin begitu aja.” “Iya sih. Mesti ada penjelasannya sih.” Sama halnya
dengan di taman, foto yang dihasilkan dalam rumahpun sangat bagus. Tidak heran
Kurniawan Santo memasukan tempat ini kedalam blognya.
Setelah
berjalan – jalan di dalam rumah kami pun segera beranjak untuk segera pulang
karena jam sudah mulai menunjukan pukul 16.00. “Ayo Ger, nanti kalo kelamaan
ndak enak jalan pulangnya gelap.” Akupun mengiyakan ajakan Tama. Sesaat sebelum
meninggalkan tempat itu aku mendengar suara seperti kayu yang diinjak. DRAP.
“Kamu denger suara ndak Tam?” Aku menengok kebelakang, kulihat di dekat tangga,
di dekat meja makan, di pintu kamar mandi, semua tempat. Tidak ada apa – apa.
Aku hanya menaikan pundak dan membuka pintu depan rumah untuk segera keluar
rumah.
Pintu
terbuka, aku dan Tama beranjak keluar. Beberapa saat kami terdiam. Bukan, bukan
karena kunci mobil Tama ketinggalan, atau Tama minum dari botol air yang salah.
Namun karena pemandangan yang kami lihat adalah sama persis dengan saat kami
datang. Bukan, bukan tamannya yang sama persis tapi, dalam rumahnya yang sama
persis. Nggak logis kan? Kami baru saja keluar dari rumah tapi malah masuk lagi
kedalam rumah. “Kita berhalusinasi nggak sih Ger? Kamu ndak masukin ciu toh
kedalam sari kacang ijoku?” Kata Tama sambil mencium bau mulutnya sendiri.
“Endak Tam, sumpah. Aku ya bingung ini.” Ini kan mulai horor ini ya. Dan apa
yang horor lagi? Saat aku mengecek foto – foto dalam rumah yang ada di kamera…
Lenyap! Hilang semua gambar yang sudah aku ambil! “Heh Tam, ini kok ilang semua
foto – foto ku??” “Ah masak? Error kali Ger memory cardmu? Apa yang tolol lagi
ternyata lupa buka lens cap.” Aku
bersumpah aku nggak setolol itu. Akhirnya daripada membawa pulang tanpa hasil,
aku memotret kembali dengan cepat foto – foto yang hilang tadi.
“Udah
Ger? Ayok Ger cepet keluar, perasaanku udah mulai ndak enak ini.” Sangat
setuju. Kamipun bergegas ke pintu depan rumah untuk keluar. DRAP. Suara yang
sama, volume yang sama terdengar dari belakang kami lagi. Aku sangat penasaran pada
suara itu. Akupun membalikan badanku lagi, sama seperti kejadian yang tadi.
Dekat tangga tidak ada apapun, di dekat meja makan juga, dan kamar mandi… Kali
ini tidak nihil. Ada sesosok hitam seperti bayangan orang gundul mengintip kami dari balik pintu kamar mandi.
Kami terdiam, tak berdaya melakukan apapun. Bulu kuduk menjadi liar seolah –
olah mau melepaskan diri dari kulit. Semakin lama dipandang, semakin sosok ini
menyeringai kearah kami. “AYO AYO GER CEPET KELUAR!” Kami secepat kilat membuka
pintu dan membantingnya dibelakang kami.
“Oh
shit!” Jerit Tama. Kejadian seperti
tadi terluang kembali. Kami masih berada didalam rumah! Seolah kami baru saja
datang dari luar rumah. Untuk meyakinkan apakah kejadian ini sama atau tidak,
aku mengecek ke galery foto di kameraku. Oh shit,
oh shit, oh shit!! Hilang! Semuanya hilang lagi, kecuali sebuah foto. Yang
lebih horornya lagi, bukan aku ataupun Tama yang mengambilnya! Sebuah foto yang
memperlihatkan kami berdua sedang berjalan menuju pintu depan rumah. “Ger, ini
bener – bener udah ndak normal Ger.” “Iya, iya ngerti! Ayo udah lah ndak usah
foto – foto lagi kita keluar aja langsung!” Sialnya sekarang pintu depan
tertutup rapat tak bisa dibuka, seperti memang pintu ini hanya dekorasi saja. DRAP.
Suara itu lagi. Lagi! Aku dan Tama hanya terdiam saja. Tak ingin menengok.
DRAP. Oh God. DRAP. DRAP. DRAP. Mengundang kami untuk menengok. Saat kami
menengok, tepat didepan wajah kami sosok hitam menyeringai itu. Dia membuka
mulutnya, sangat lebar seolah mau menelan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar