Rabu, 02 Desember 2015

Endless Night - Bab 1

Try to Know Us.

“TULALIT TULALIIIITTT…. TULALIT TULALIIIITTT…. PIP”
                Seseorang mengubah alarmku agar berbunyi jam 4 pagi. Sial.
            Dan itulah kisah pagiku. Ingin rasanya menutup mata kembali, tapi udara panas yang menyengat akibat panjangnya musim kemarau membuatku berkeringat dan tidak nyaman. Akhirnya kuputuskan untuk mandi, lalu mengerjakan tugas akhir seorang mahasiswa ganteng, yaitu skripsi. Kubuka laptopku yang cantik sambil menyeduh secangkir kopi hitam untuk booster.
“Oh men, hati ini sudah berniat mengerjakan, namun fisik ini berkata tidak,” kataku pada diriku sendiri. Diriku ini ingin segera lulus saja dari perkuliahan jahanam ini. Buatku, kuliah, sekolah, dan sebagainya adalah tempat yang sangat tidak menyenangkan. Kenapa? Pikirkan saja, kalau bekerja nanti, kita mengerjakan sesuatu lalu setelah itu mendapat bayaran alias gaji. Lha kuliah? Kita yang kerja, kita juga yang bayar. Enaknya dimana coba?  Kata orang nikmati saja kuliah, bersama teman – teman, asyik dan seru – seruan, blah blah blah… Aku bukan orang yang tertarik dengan hal semacam itu. Kalau disuruh pergi pesta atau pergi jalan – jalan bersama rombongan teman kampus, aku memilih untuk tidak. Bukannya tidak suka pergi berpetualang atau apa, tapi aku merasa kurang nyaman berada disekitar orang – orang yang kurang aku kenal. Jadi aku tidak pernah merasa kehilangan saat lulus dari sekolah dulu.
Hei, hei, jangan judge aku dulu. Bukan berarti aku tidak menghargai sebuah hubungan pertemanan. Seperti yang aku sampaikan tadi, aku tidak suka keramaian. Sama halnya dengan pertemanan. Prinsipku adalah, semakin banyak orang yang tau rahasiamu, semakin banyak masalahmu. Ya gitu udah.
Keep your circle small, and your beer cold. Wedeuh, kece banget  mahasiswa ganteng ini.
“Hoi.“Terdengar suara dari luar pintu kamarku yang terbuka.
Keindahan pagi hari ini tak lengkap tanpa sapaan singkat dari si muka datar, teman kos dan sahabat terbaikku, Tama. “Ger, lagi apa koe? Udah selesai desain skripsine? Biar bisa tak kerjain dikit – dikit coding e.” Jadi kami sedang membuat topik skripsi bersama karena diperbolehkan kampus, asal beda progdi. Beruntung Tama berasal dari Prodgi Teknologi Informasi dan aku dari Desain Komunikasi Visual. Lengkap sudah formasi untuk membuat aplikasi game kecil – kecilan. Tidak usah yang besar – besar, yang penting menarik dan skripsi cepat kelar. Kami orangnya tidak mau muluk – muluk.
“Iyo, ini ya baru tak garap. Cuma referensine masih kurang kayake.” Kami sudah memutuskan untuk membuat game horror. Namun sebagai game designer dan pembuat artwork game, aku merasa sangat sulit menggambarkan kengerian suatu tempat tanpa referensi yang cukup. Misal saja, setting tempat kami adalah rumah tua bekas pembunuhan yang sudah lama ditinggalkan. Misal lho ya. Terus aku tambahkan cipratan darah merah di backgroundnya. Aneh kan, sudah lama ditinggal, tapi kok darahnya masih segar? Lalu aku ganti jadi hitam, malah jadi cipratan oli. Diganti coklat, kok kayak lumpur?? Itu baru kegalauan background. Belum lagi desain karakter, desain cerita, desain Graphic User Interface, dll, dsb. Sesulit itulah. Dan orang – orang diluar sana hanya cas cis cus aja berkata, “Ah, DKV kan gampang, kerjanya cuma nggambar – nggambar aja!” Eat my ass lah.
Tama dan aku pun berpikir bersama didalam kamarku. Tama tampak berpikir keras sambil menyeruput secangkir kopi. “ Tam, itu kopiku. Bikin dewe sana lah.” Tama berhenti menyeruput kopi dan memandangku penuh makna. Aku terdiam, dia terdiam, seolah – olah jam di dinding berhenti berputar. Kemudian, Tama meletakan cangkir kopiku sambil berkata, “Oh iyo, aku lupa, Ger. Sori – sori.” Somplak. “Ya wis Ger, gimana kalo abis ini kita cari makan pagi dulu sambil keliling cari – cari referensi, tak traktir wes.” Aku langsung mengiyakan ajakan Tama. Teman macam apa yang menolak ditraktir temannya? Ehem, jujur saja saat ini ekonomiku sedang terpojok oleh krisis ekonomi, jadi ya traktiran adalah sebuah surga dunia. “Yo kamu mandio dulu, Tam.”
Segera setelah Tama selesai mandi, kami beranjak masuk kedalam mobilnya Tama dan pergi meninggalkan kontrakan kami untuk mencari kitab suci, maksudku makan. Tama pun memilih sebuah restoran makanan Cina kesukaan kami yaitu restoran Ta Man. Bubur disini enak lho. Belum lagi cumi 3 rasanya, dahsyat. Tapi kalau aku sendirian, aku tidak akan makan di restoran ini. Makan berdua saja bisa habis sampai 150 ribu rupiah. Buat Tama itu sudah biasa, lah buat aku? Jatah makan seminggu.
Setelah selesai memesan makanan, sambil menunggu makanan tiba, Tama mengeluarkan Smartphonenya sambil menunjukan sebuah artikel padaku. “Ini lho Ger, rumah yang ada di kota Mandiratu ini kayaknya bisa kita jadiin referensi art game kita. Aku lihat serem banget, bikin yang liat aja deg – degan dan nggak nyaman” Saat kulihat – lihat sendiri, memang benar kata – katanya Tama. Rumah yang kulihat di artikel itu berasa sangat lembab, suram dan juga membuat was – was. Padahal aku dan Tama jelas bukan orang yang punya indra keenam, sama sekali tidak. Lantai kayunya yang sudah pecah – pecah dan berlubang, entah apa yang ada dibawahnya. Tembok berlumut dengan noda yang entah apakah itu. Air bocor dari genteng? Lumpur? Atau… Darah?
“Iyo yah, serem nih. Tapi apa gak apa – apa nih, kalo kita kesana terus masuk dan lihat – lihat gitu? Bukan masalah takut hantu atau apa lho ya. Tapi apa gak bermasalah, misal dimarahin yang punya, atau ditutup pemerintah gitu?” Sambil membaca lagi Tama menjawab, “Ah, enggak kok. Orang yang nulis artikel ini aja masuk sendiri , disini ditulisan artikelnya bener – bener rumah yang ditinggalin lama. Gak keurus. Pie, mau coba?” Pikirku tidak ada salahnya dicoba, lagipula sangat memenuhi persyaratan. Rumah tua yang angker dan lama ditinggalkan. Absolutely perfect!
Akhirnya diputuskan sudah, Tama pergi kesana dengan seorang anak. Anak yang tampan dan juga pemberani. Gery namanya. Ha ha ha… Ya, saya ganteng. Tidak peduli itu fakta atau opini, tapi kepercayaanku seperti itu.
“Ger, kita perginya besok lusa aja gimana? Kan pas weekend. Sekalian kan aku ada kelas ngulang besok.” Halah.. Tama sih, dapet nilai B aja ngulang mata kuliah. “Ya udah besok aku nganggur, aku kerjain buat karakter gamenya dulu aja, biar nanti cepet kelarnya. Udah males kelamaan kuliah nih aku hahaha…” Tama menyeruput teh sambil berkata, “Koe sih apa yang ndak males?” Kamipun tertawa bersama selama 5 detik sebelum aku berkata, “Tam, itu gelas teh ku.” Dia terdiam. Akupun terdiam. Keheningan yang berjalan beberapa saat itu terpecah saat makanan yang kami pesan datang. “Sori salah ambil gelas Ger.”
Selesai menyantap hidangan yang sangat lezat, kamipun pulang menuju kontrakan untuk meneruskan skripsi. Saat didepan mobil, Tama tiba – tiba terdiam, cukup lama. Tatapan matanya kosong seperti bak mandi yang lupa diisi airnya. Aku yang semula terhening karena bingung akhirnya bertanya, “Napa Tam? Oy?” Tiba – tiba dia langsung lari terbirit – birit menuju kedalam restoran meninggalkanku sendiri termenung di tempat parkiran.

Sudah kuduga, kunci mobilnya ketinggalan. Biasa banget. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar