Rabu, 02 Desember 2015

Endless Night - Bab 2

Try to Know This Place

Lusa pun datang seperti sekejap mata. Mengapa? Karena akhirnya aku tidak mengerjakan art game nya, dan Tama kelasnya libur. Kami bermain game online sampai pagi. Seolah – olah waktu 24 jam sehari itu selalu kurang. Tapi ya sudahlah, daripada menyesalinya lebih baik aku mempersiapkan bawaan yang akan kubawa perjalanan keluar kota. Snack, air minum, laptop, kamera untuk dokumentasi, baju ganti untuk jaga – jaga, dan sabun. Iya, sabun. Jangan salah paham, hanya saja aku ini sering mendadak sakit perut dimanapun kapanpun. Kalau kata Tama kayak ayam. Jadi sabun itu ya buat cebok, bukan yang “lain”.
“Dah siap to Ger? Yuk berangkat.” Kata Tama sambil melewati kamarku. Akupun bergegas mematikan segala benda yang berkaitan dengan listrik, mengunci pintu dan meluncur kedalam mobil. Literally meluncur, sampai – sampai Tama selalu marah – marah saat aku melakukannya. Maklum, hiperaktif. “Jadi langsung ke TKP nih Ger? Ndak nunggu malem?” Memang bocah satu ini koplak pertanyaannya. “Ya kan aku mau cari foto Tam, bukan cari demit.”
Dalam perjalanan sambil mencari lokasinya, aku membaca – baca kembali blog dari orang yang menulis artikel tentang rumah angker yang akan kami datangi. Namanya Kurniawan Santo. Dia sangat sering berpetualang mencari – cari tempat yang unik. Tempat yang indah, tempat yang sangat terpencil, tempat yang berbahaya hingga tempat angker. Artikelnya cukup menarik dan ditulis dengan bahasa yang meyenangkan untuk dibaca. Tak heran banyak pengikut blognya. Artikel terakhir yang ia tulis adalah artikel rumah angker itu, sejak satu minggu yang lalu. Hmm.. aku tidak sabar menunggu update selanjutnya dari orang ini.
“Udah sampe nih Ger, bangun.” Tama membangunkan ku dari tidur lelapku. Leherku sakit karena salah posisi. “Ini dah berapa jam sih kita perjalanan Tam?”, “Dah 3 jam bruh. Capek aku.” Aku melihat rumah angker yang diceritakan di blog. Tidak seperti yang kukira, rumah ini bukan rumah terpencil didalam hutan atau rumah yang berada di desa sepi yang ditinggalkan. Rasanya keadaan di sekitar rumah ini normal saja. Rumah ini pun aku pikir termasuk mungkin besar dan bagus bila dirawat dan ditinggali. Halaman rumahnya sangat besar, penuh dengan rumput yang panjang dan ilalang dimana – mana. Tanpa nomor rumah, tanpa tulisan apapun, misal dijual atau dikontrakan. Rasanya aku tidak percaya bila rumah ini tidak ada yang punya.
Kamipun masuk kedalam halaman rumah itu, angin dingin menghembus membuat bulu kuduk berdiri. Santai dulu, ini memang musim hujan. Wajar kalau ada angin dingin seperti ini. Aku mulai mengambil foto – foto dari halaman rumah angker ini. Hasil – hasil fotonya sangat bagus, entah kenapa. Padahal aku sendiri bukan ahli dalam bidang fotografi. “Tam, liat nih, fotonya bagus – bagus lho hasilnya.. Tam.. Lho, Tam? Woy??” Tama menghilang entah kemana. Apa mungkin dia sudah masuk ke dalam rumah? Ah, pintunya masih tertutup. Dimana dia? “Hai.” Sapa seorang dari belakang. Aku melonjak kaget. Ternyata Tama dengan muka datarnya datang membawa kunci mobil. “Kunci mobilku ketinggalan hehe..” “Kampret lah Tam, ngaget – ngagetin.”
Menuju ke teras rumah, kami melihat sekitar sambil melihat – lihat adakah yang menarik untuk difoto dan dijadikan subjek atau objek game kami. “Oy, sini deh Ger. Liaten. Banyak jejak kaki dideket pintu masuk nih.” Aku menyimpulkan berarti banyak orang yang tertarik mengunjungi tempat ini. Mungkin pemerintah seharusnya mengaktifkan tempat ini untuk tujuan pariwisata, who knows? Terlihat sangat banyak jejak kaki menuju kedalam rumah, beberapa dari jejak kaki terlihat masih baru. Mungkin salah satunya adalah si Kurniawan Santo.
Benar dugaanku. Dari luar bagus, dari dalam juga bagus. Terlihat interior yang tertata sangat rapi dan enak dilihat. Perabotan pun sangat lengkap. Meja, kursi, lemari, dsb. Namun ya namanya saja rumah yang ditinggalkan, sangat berdebu dan kotor dimana – mana. “Sayang banget nggak sih, Tam? Rumah segede ini dianggurin begitu aja.” “Iya sih. Mesti ada penjelasannya sih.” Sama halnya dengan di taman, foto yang dihasilkan dalam rumahpun sangat bagus. Tidak heran Kurniawan Santo memasukan tempat ini kedalam blognya.
Setelah berjalan – jalan di dalam rumah kami pun segera beranjak untuk segera pulang karena jam sudah mulai menunjukan pukul 16.00. “Ayo Ger, nanti kalo kelamaan ndak enak jalan pulangnya gelap.” Akupun mengiyakan ajakan Tama. Sesaat sebelum meninggalkan tempat itu aku mendengar suara seperti kayu yang diinjak. DRAP. “Kamu denger suara ndak Tam?” Aku menengok kebelakang, kulihat di dekat tangga, di dekat meja makan, di pintu kamar mandi, semua tempat. Tidak ada apa – apa. Aku hanya menaikan pundak dan membuka pintu depan rumah untuk segera keluar rumah.
Pintu terbuka, aku dan Tama beranjak keluar. Beberapa saat kami terdiam. Bukan, bukan karena kunci mobil Tama ketinggalan, atau Tama minum dari botol air yang salah. Namun karena pemandangan yang kami lihat adalah sama persis dengan saat kami datang. Bukan, bukan tamannya yang sama persis tapi, dalam rumahnya yang sama persis. Nggak logis kan? Kami baru saja keluar dari rumah tapi malah masuk lagi kedalam rumah. “Kita berhalusinasi nggak sih Ger? Kamu ndak masukin ciu toh kedalam sari kacang ijoku?” Kata Tama sambil mencium bau mulutnya sendiri. “Endak Tam, sumpah. Aku ya bingung ini.” Ini kan mulai horor ini ya. Dan apa yang horor lagi? Saat aku mengecek foto – foto dalam rumah yang ada di kamera… Lenyap! Hilang semua gambar yang sudah aku ambil! “Heh Tam, ini kok ilang semua foto – foto ku??” “Ah masak? Error kali Ger memory cardmu? Apa yang tolol lagi ternyata lupa buka lens cap.” Aku bersumpah aku nggak setolol itu. Akhirnya daripada membawa pulang tanpa hasil, aku memotret kembali dengan cepat foto – foto yang hilang tadi.
“Udah Ger? Ayok Ger cepet keluar, perasaanku udah mulai ndak enak ini.” Sangat setuju. Kamipun bergegas ke pintu depan rumah untuk keluar. DRAP. Suara yang sama, volume yang sama terdengar dari belakang kami lagi. Aku sangat penasaran pada suara itu. Akupun membalikan badanku lagi, sama seperti kejadian yang tadi. Dekat tangga tidak ada apapun, di dekat meja makan juga, dan kamar mandi… Kali ini tidak nihil. Ada sesosok hitam seperti bayangan orang gundul  mengintip kami dari balik pintu kamar mandi. Kami terdiam, tak berdaya melakukan apapun. Bulu kuduk menjadi liar seolah – olah mau melepaskan diri dari kulit. Semakin lama dipandang, semakin sosok ini menyeringai kearah kami. “AYO AYO GER CEPET KELUAR!” Kami secepat kilat membuka pintu dan membantingnya dibelakang kami.

“Oh shit!” Jerit Tama. Kejadian seperti tadi terluang kembali. Kami masih berada didalam rumah! Seolah kami baru saja datang dari luar rumah. Untuk meyakinkan apakah kejadian ini sama atau tidak, aku mengecek ke galery foto di kameraku. Oh shit, oh shit, oh shit!! Hilang! Semuanya hilang lagi, kecuali sebuah foto. Yang lebih horornya lagi, bukan aku ataupun Tama yang mengambilnya! Sebuah foto yang memperlihatkan kami berdua sedang berjalan menuju pintu depan rumah. “Ger, ini bener – bener udah ndak normal Ger.” “Iya, iya ngerti! Ayo udah lah ndak usah foto – foto lagi kita keluar aja langsung!” Sialnya sekarang pintu depan tertutup rapat tak bisa dibuka, seperti memang pintu ini hanya dekorasi saja. DRAP. Suara itu lagi. Lagi! Aku dan Tama hanya terdiam saja. Tak ingin menengok. DRAP. Oh God. DRAP. DRAP. DRAP. Mengundang kami untuk menengok. Saat kami menengok, tepat didepan wajah kami sosok hitam menyeringai itu. Dia membuka mulutnya, sangat lebar seolah mau menelan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar